Search something?

Sabtu, 14 Juni 2014

Pictalogi yang Mudah dan Berkualitas

Aku masih ingat, saat masih SD, aku dan kakak beberapa kali meminjam kamera bapak untuk memotret sana, memotret sini. Kamera itu berwarna hitam. Berbentuk balok persegi panjang. Tidak besar, tidak juga terlalu kecil. Yang pasti, nyaman untuk digenggam anak kecil. Karena ukurannya yang mungil, sepertinya tidak cukup kalau film roll dimasukkan ke dalamnya. Namun kenyataannya, muat saudara-saudara!

Aku kira, itulah kamera paling unik yang pernah aku pegang seumur hidup. Kamera yang sampai sejauh ini aku percayai, hanya bapakkulah yang memilikinya. Kameranya sangat  Hasil bidikannya pun asyik dilihat. Dan pastinya, kamera itu menjadi barang koleksi yang berharga.



Beranjak ke bangku SMP dan SMA, kamera kenangan milik bapak itu semakin jarang dipakai. Aku lebih sering meminjam kamera milik ibu. Kamera milik ibu ini ukurannya lebih besar. Bentuknya hampir mirip dengan kamera saku saat ini, dan warnanya abu-abu.


Seringkali aku gugup kalau menggunakan kamera milik ibu ini. Yang aku rasakan, aku harus berhasil mengambil momen yang bagus untuk diabadikan. Harus! Dengan film roll yang hanya mampu menampung 36 hasil foto, aku mesti jeli memutuskan, mana momen yang layak cetak. Begitu istilahnya.

Tidak hanya itu, menghitung pun menjadi kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh fotografer waktu itu. Oiya, kadang ada bonus 2 foto dari film roll itu. Aku tidak pernah tahu bagaimana cara perhitungan cepatnya. Hanya saja, aku selalu senang kalau hasil foto lebih dari 36 buah.




Dengan kamera milik ibu itu, aku selalu buru-buru ingin mencetaknya. Mengapa? Karena kamera itu hanya digunakan pada kesempatan khusus. Misalnya, ketika piknik keluarga, perayaan ulang tahun, atau acara penting di tempat kerja orang tua.

Kalau dengan kamera unik milik bapak, aku bisa merasa lebih santai. Memotret peristiwa sehari-hari. Bahkan, acap kali sengaja mencari-cari obyek untuk dipotret. Apa tujuannya? Supaya bisa segera mencapai 36 buah, dan setelah itu tentu saja dicetak. Melihat hasil jepretan dari kamera bapak ini terasa lebih menarik, karena kejadian-kejadian wajar dan alami yang diabadikannya.

Menunggu satu minggu untuk melihat hasil jepretan adalah waktu yang lama. Apalagi, saat itu aku masih kecil. Anak kecil punya rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Dan itulah aku! Rasanya tak sabar.

Mencetak, dan melihat. Melihat, dan tertawa, bahkan tertawa terpingkal-pingkal saat ada pose lucu di dalam foto itu. Mengisi film roll lagi. Berburu momen. Mencetak, menunggu satu minggu. Melihat hasil foto. Dan tertawa lagi, atau cemberut. Yaa, cemberut jika ada hasil foto yang kabur. Demikianlah siklus potret-memotret pada masa kecil dan masa remajaku.




Beda dulu, beda pula sekarang.

Semenjak tujuh tahun lalu aku punya kamera digital untuk pertama kalinya, semakin banyak pula foto-foto digital yang aku miliki. Ribuan, atau mungkin jutaan foto digital sudah berhasil ku simpan di harddisk komputer dan laptop. Nah, dengan melimpahnya foto digital itu, berapakah yang telah aku cetak?

Hmmm...mungkin hanya puluhan, atau paling banyak ratusan saja!
Yaa, kita bisa menebak, perbandingan antara hasil foto digital dan cetak foto digital memang tidak berimbang!

Bahkan, mungkin untuk sekadar melihat hasil foto pun amatlah jarang. Yang lebih sering ku lakukan adalah memindahkan dokumen foto digital dari memori kamera ke harddisk komputer/laptop. Memindahkan, saja! Kataku dalam hati, 'Ah, nanti juga masih ada waktu. Ah, nanti saja kalau ingin dicetak. Ah, nanti saja kalau mau dipamerkan di Facebook, Instagram, Twitter. Ah, nanti saja...'

Yaa, 'nanti saja' sampai aku menyesal belum pernah melihatnya, mungkin karena memori kamera atau harddisk komputer/laptop sudah tutup usia. Dan tragisnya, hal itu pernah aku alami!

Tengah malam yang kelam di bulan Oktober 2013, aku kehilangan semua dokumen foto ketika aku keliling bandara Changi, Singapura dan berkelana di Taiwan selama 2 bulan. Semuanya hilang. Oh, pedih! Padahal belum semua foto sempat ku nikmati. Harddisk laptopku tiba-tiba rusak, mati, dan tidak bisa dibaca kembali. Hilanglah semua datanya! Semua kenangan menjadi tak berbekas.

Sedih, kecewa, dan menyesal rasanya...namun apa daya.
Hanya ada empat foto yang terselamatkan, dan inilah salah satunya.




Berawal dari tragedi itulah, aku mulai ingin mencetak foto-foto digital. Aku ingin mengekalkan kenangan dan pengalaman. Aku ingin tertawa lagi kalau melihat pose lucu di dalam foto. Aku ingin cemberut karena gagal membidik momen terbaik. Aku ingin pengalaman itu tetap hidup, dan dikenang oleh generasi-generasi di bawahku.

Yaa, aku ingin...

Kala itu, pikirku, aku akan mengumpulkan beberapa momen penting, lalu memilih bagian-bagian terbaiknya, dan mencetaknya di tukang foto dekat rumah. Sederhana saja.

Nah, kemudian, datanglah waktunya! Yaa, waktu yang tepat untuk mendulang momen-momen cantik. Pada Februari 2014 aku punya kesempatan istimewa untuk melakukan vountourism Jelajah Rempah ke Biak-Papua. Menjelajah Biak-Papua selama 8 hari! Siapa yang tak ingin?

Menikmati pantai-pantainya yang luar biasa. Mencicipi papeda dan ikan kuning. Menatap senyum manis bocah-bocah Papua. Tak hanya itu, aku pun juga mengajar dan belajar bersama anak-anak. Semuanya gratiiisss...! Aku yakin, semua pasti sangat mendambakannya.

Oleh sebab itulah, aku pun bertekad untuk sebanyak-banyaknya mengabadikan momen yang pastinya tak kan terlupa. Mengabadikannya lewat kamera digital yang kemudian dicetak dalam sebuah buku yang bisa disentuh, digenggam, dan dipeluk. Tak hanya bentuk digital, tapi juga dalam bentuk fisik.

Layaknya orang-orang yang tengah kasmaran di masa lampau, yang menyimpan foto kekasih hatinya di dompet, nah seperti itu pulalah aku ingin menyimpan kenangan Jelajah Rempah di Biak-Papua 2014 ini.

Awalnya aku ingin mencetak foto-foto Jelajah Rempah itu pada liburan musim panas 2014 ini. Pasalnya, seusai melaksanakan misi Jelajah Rempah di Biak-Papua pada Februari 2014 kemarin, aku langsung kembali ke Taiwan untuk melanjutkan studi. Jadi aku berpikir bahwa aku tak kan sempat menyeleksi foto-foto dan mencetaknya di Indonesia.

Lalu aku pun menimbang-nimbang. Bagaimana caranya, perjalananku di Biak-Papua itu bisa diwujudkan dalam bentuk buku saku yang gampang dibawa ke mana-mana. Bukan buku yang berisi tulisan, tapi buku yang memuat gambar-gambar keelokan alam budaya Biak-Papua.

Akankah aku membeli sebuah notes kecil, lalu mencetak foto-foto dengan ukuran kecil pula, dan menempelkannya di notes? Atau, akankah aku pergi ke tukang foto dekat rumah, lalu minta dibuatkan album foto khusus seukuran saku? Atau, bagaimana yaa?

Hmm...




Nah, pada saat menimbang-nimbang itulah, tak disangka muncullah sebuah tawaran cetak foto secara online. Dengan cara online ini, kita bisa mencetak foto-foto yang kita unggah di media sosial Facebook dan Instagram. Selain itu, tentu saja kita bisa mencetak foto-foto yang sudah ada di harddisk komputer/laptop.

Aku belum pernah mendengar sebelumnya kalau kita bisa mencetak foto-foto secara online. 'Aah, tampaknya patut dicoba nih!' Begitu selintas pemikiran di benakku.

Tawaran yang penuh pesona itu nongol begitu saja lewat sebuah akun Twitter. Namanya Pictalogi. Aku pun membaca-baca tweet-tweetnya. Dalam bio Twitter Pictalogi, dituliskan seperti ini: 'Cetak foto makin mudah dengan Pictalogi, cukup dari rumah.' Sebuah tagline indah yang menggodaku untuk segera menjelajah website Pictalogi.

Tampilan website Pictalogi yang atraktif menggugah semangatku untuk segera mencetak foto. Asyiknya, Pictalogi menawarkan 4 jenis produk cetak foto. Ada Mini Book, Mini Sticker, Square Photo, dan R Photo. Aku berpikir: 'Wah, beragam juga nih pilihan-pilihan cetak fotonya!' Sebuah inovasi yang menarik, sebab selama ini aku hanya tahu cetak foto di tukang foto dengan ukuran standar, seperti 3x4, 4R, 5R, dan seterusnya.

Terpukau dengan cara alternatif cetak foto itu, maka setelah memperhatikan, memeriksa, menimbang langkah-langkahnya, maka dengan mantap aku memutuskan untuk mencetak foto-foto Jelajah Rempah dalam 2 mini book. Yeay!

Mengapa mini book?

Yaa, karena mini book Pictalogi ini sesuai dengan seleraku! Tadi sudah ku katakan bahwa sejak awal aku memang ingin mencetak sebuah buku saku yang berisi foto-foto Jelajah Rempah. Mungkin pada titik inilah peribahasa 'pucuk dicinta, ulam tiba' tepat digunakan. Heheheee.

Maka, segeralah aku melakukan mendaftarkan diri menjadi member website Pictalogi. Pendaftarannya simpel, aku suka! Lantas, aku pilih produk Mini Book. Tak hanya satu, aku pesan dua mini book! Satu mini book tak akan cukup menampung betapa kayanya kenangan Jelajah Rempah di Biak-Papua.

Mini book itu aku beri judul Jelajah Rempah Biak-Papua 2014 @uopoiki. Total ada 60 foto Jelajah Rempah yang terpampang nyata di sana. Jadi, satu mini book memuat 30 foto. Mungkin saat itu aku sedang beruntung! Dengan adanya voucher Pictalogi, maka dari 2 mini book yang pesan, aku cukup membayar 1 mini book saja. Ah, senang sekali!





Siapa sih yang tidak ngiler jika punya 2 buku kumpulan foto-foto terbaik dalam suatu momen bersejarah? Tak hanya kumpulan foto biasa, tapi hasil cetaknya sangat memuaskan. Buku kumpulan yang khas yang bisa kita miliki melalui Pictalogi.

Cetak foto online yaa, aah bagaimana kalau ingin berkomunikasi dengan tukang cetaknya? Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali! Mungkin di antara kita ada yang punya prasangka demikian. Aku pun juga. Tapi sedari awal aku memang tak kawatir, walau ketika mencetak lewat Pictalogi itu posisiku sedang berada di Taiwan, bukan di Indonesia.

Aku yakin, staf Pictalogi pasti sudah mengatur prosedur mencetak foto online. Juga, sarana berkomunikasi pun tentu sudah disediakan secara memadai. Ternyata, hal itu memang benar!

Beberapa kali aku berkomunikasi dengan staf Pictalogi melalui Twitter dan Fanpage Facebook Pictalogi. Salah satu pembicaraan yang aku ingat betul adalah mengenai penggunaan voucher. Saat itu aku bingung kapan dan di mana kode voucher harus dituliskan. Aku sempat melakukan kesalahan, sehingga kode voucher yang aku masukkan gagal dibaca oleh sistem. Aku pun segera menghubungi staf Pictalogi, dan dengan sabar mereka pun menuntun hingga aku berhasil menggunakan voucher tersebut. Aah, terima kasih Pictalogi!

Sesudah itu, aku cepat-cepat melakukan pembayaran atas produk yang aku beli. Kemudian, aku mengirim SMS konfirmasi kepada staf Pictalogi bahwa aku sudah membayar melalui transfer bank. Tak berapa lama, aku pun mendapat balasan dari mereka bahwa uang sudah diterima.

Dua hari sesudahnya, orang tuaku memberi kabar dari Indonesia bahwa kiriman dua mini book Pictalogi telah sampai di rumah. Mereka mengatakan, bukan hanya paketnya yang dibungkus dengan rapi, tapi juga kualitas kertas fotonya yang aduhai. Bagus! Aa, senangnya!

Layanan ini membuatku serasa aku sedang berhadapan langsung dengan tukang cetak foto. Meski sebenarnya jarak terpisah ribuan kilometer, tapi Pictalogi telah menciptakan suatu terobosan cetak foto online selayak cetak foto tatap muka. Juga, harga yang aku bayarkan seimbang dengan kualitas pelayanan dan hasil cetak fotonya.

Pengalaman mencetak foto secara online memang menyenangkan. Layanan Pictalogi ini memberi kemudahan kepada para pelanggannya. Ada 4 hal yang aku catat. Pertama, kita bisa memilih foto-foto dari harddisk komputer/laptop, Facebook, ataupun Instagram untuk dicetak. Kedua, staf yang ramah dan tangkas dalam melayani. Ketiga, hasil cetak foto yang berkualitas tinggi karena mengunakan kertas Royal Doff. Dan keempat, ongkos kirimnya gratis ke seluruh Indonesia. Wow!

Dulu aku pernah berangan-angan, bagaimana yaa andaikan foto-foto yang ada di harddisk dan media sosial bisa dicetak tanpa harus pergi ke tukang foto? Tak pernah terpikirkan bahwa akhirnya angan-angan ini bisa terwujud! Bahkan, ketika sedang berada di luar negeri pun, aku bisa mencetak foto. Keren yaa?

Yaa, sekarang aku cukup memilih dan memilih foto-foto yang paling berkesan dan penuh makna. Tinggal masuk ke website Pictalogi. Tentukan produk yang diinginkan. Unggah foto-foto yang akan dicetak. Transfer biayanya, dan konfirmasi lewat sms. Lalu, tinggal menanti deh foto-foto itu datang ke rumah.

Mudah, kan? Dan, memang tepatlah tagline ini 'Cetak foto makin mudah dengan Pictalogi, cukup dari rumah.'

Tentu saja, aku masih ingin terus mencetak foto dengan Pictalogi. Aku percaya pada keunggulan produk cetak foto Pictalogi. Masih banyak momen-momen jelajah yang telah dan akan aku lalui. Momen yang pantas untuk dibukukan dalam bentuk mini book. Momen yang pas untuk dicetak dalam stiker-stiker mungil nan lucu. Momen tak terbatas yang bersanding dengan kualitas tinggi dari hasil cetak foto di Pictalogi.

Yuuk, cetak foto dari rumah bersama Pictalogi!




Tidak ada komentar: