Search something?

Sabtu, 31 Mei 2014

Terbuai Di Dalam Kapsul London Eye

Saat Christian bercakap dengan bantal, duduklah Vabyo di kedai dan menyibak mimpi.
Kala Windy tenggelam dalam jurnal, berdirilah aku di London Eye menampar pipi.


Aku yang tak cerdik merangkai kata-kata beruntun, kini menculik tiga nama untuk mencipta bait pantun. Aku yang mendambakan suatu jiwa lemah lembut, sekarang meminta tamparan sambil bertekuk lutut.

Tamparan yang aku harapkan terjadi di London Eye. Ketika mataku tak berkedip. Di waktu tubuhku mematung. Pada saat itulah ada telapak tangan yang menampar pipiku. Tamparan yang menyadarkan bahwa aku tidak sedang tidur di atas bantal. Tamparan yang meningatkan bahwa mimpiku telah teraih. Tamparan yang mendorongku habis-habisan untuk mengabadikannya lewat tulisan.



Sah bila aku berangan-angan menyesap pelan-pelan satu gelas teh di dalam kapsul London Eye. London Eye yang megah itu layaknya hantu yang tak pernah lengah berputar-putar di kepala. London Eye adalah mata yang tak kunjung terpejam di kala malam. Seiring matahari terbenam, aku pun ingin tenggelam. Tenggelam di salah satu kapsul London Eye.

Menyewa satu kapsul London Eye selama dua kali tiga puluh menit. Tentu saja aku tidak akan memilih kapsul bernomor tiga belas. Nomor itu dikeramatkan, diganti dengan nomor tiga puluh tiga. Kapsul London Eye nomor tiga puluh tiga. Aku berfantasi menghuninya walau tuk sekejab.

Pengalaman sekejab yang akan membayangiku sepanjang hidup. Berada di dalam sebuah kapsul yang nyaman dengan panorama kegagahan London. Tentu saja aku tak hanya berdiri di sana. Mengagumi tanpa henti. Memotret hingga lupa waktu. Menghirup aroma teh, wine dan champagne. Membaca kalimat demi kalimat petualangan Sherlock Holmes. Melengkapi kisah-kisahku di jurnal kecilku. Dan, duduk bersantai sambil bercakap-bercakap.

Juga, di London Eye-lah aku hendak mengenang kembali perjalananku sampai ke Inggris. Mungkin tak banyak yang mengerti bagaimana gejolak jiwaku...


Setahun kemarin aku menekuk-nekuk muka. Aku tak pernah berani mengikuti ujian TOEFL untuk pengajuan beasiswa Chevening. Tidak percaya diri karena ketatnya persaingan? Bukan! Merasa tak mampu menyusun analisis tesis berbahasa Inggris? Tidak juga! Semata-mata, alasan ekonomis. Beberapa lembar rupiah lagi yang ku perlukan untuk menggenapinya. Dan aku masih perlu minggu demi minggu untuk menyuburkan rupiahku. Tak mengapa, aku tak mengeluh.

Jika sudah mampu menggenapi rupiah, suatu ketika aku bercita-cita menggenapi pengetahuan di negeri yang menjuarai Piala Dunia 1966 itu. Mungkin bukan tahun ini. Memang aku mesti bertekun. Bertekun dalam usaha dan doa. Pantang untuk menyerah.

Mempertajam keterampilan berbahasa Inggris supaya bisa menjadi kawan diskusi bagi bapakku. Itulah tujuan utamaku studi di negeri yang memunculkan revolusi industri itu. Lalu, aku akan menjelajah perpustakaan kampus yang pastinya kaya dengan buku-buku bermakna. Buku-buku yang isinya akan ku ceritakan kepada bapakku dengan bangga. Dengan bangga dalam obrolan-obrolan yang bertepi.

Satu lagi, aku berhasrat mencicip teh. Satu teko teh yang ku nikmati dengan teman-teman di kampus. Menikmatinya tanpa perbincangan serius. Menikmatinya dalam suasana akrab bersama orang-orang asing di tanah asing. Melanjutkan tradisi minum teh khas Inggris.

Teh hijau yang dapat membantu masa adaptasi di negeri kerajaan itu. Teh hitam yang mampu membuatku bersyukur atas hidup ini. Teh manis yang bisa menggembirakan hatiku yang rindu tanah air. Teh tawar yang sanggup meredakan tekanan dari bangku kuliah.  Sesederhana itu. Setenang itu. Sehangat itu.


Yaa, baru kali inilah aku mengungkapkan isi hatiku untuk pergi ke Inggris. Mengungkapkan secara terbuka lewat tulisan dan lisan. Tak ada gunanya lagi aku menyimpan rapat asa pergi ke Inggris. Ku akui semangatku sempat padam karena belum sanggup membiayai ujian TOEFL. Kemudian semangat itu berlipat-lipat kala membaca kompetisi Inggris Gratis dari Mister Potato.


Menulis adalah sebuah petualangan tanpa sekat. Ribuan ide menyerbu otak tanpa ampun. Sembari mengumpulkan ilham menulis, berhari-hari aku berkelana dari satu toko ke toko yang lain untuk mendapatkan Mister Potato. Tapi hasilnya nihil. Tempat tinggalku yang jauh dari ibukota ini belum menyediakan jajanan kentang beragam rasa itu. Aku merasa lesu beberapa waktu. Namun, aku tak patah arang.

Muncullah seorang teman lama di chatting Facebook. Namanya Dorit. Dengan santun, aku minta bantuan untuk mengirimkan produk Mister Potato. Enam puluh menit berembug, akhirnya dia sepakat mengirimkan Mister Potato. Aku pun setuju mengganti seluruh biaya pembelian dan pengiriman. Jujur saja, napasku seolah tertahan kala mendengar biayanya. Tapi, itu tak mengapa! Sebab, gairahku  untuk melangkah ke Inggris.

Masih bersambung, napasku seakan telah berujung ketika Dorit menunjukkan nota pengiriman di mana aku menemukan ada kesalahan alamat. Oh! Dorit meminta maaf, aku bisa memaklumi, dan aku tak marah. Kesalahan itu sempat membuatku menitikkan air mata dan gemetar tak karuan. Namun, aku masih menyimpan satu keajaiban.

Ya, nomor teleponku tertera pada alamat yang dituju. Aku bisa berharap petugas akan menghubungiku untuk mengirimkan paket itu ke alamatku yang sesungguhnya. Sejak hari itulah aku berdebar-debar. Hingga pada suatu siang paket Mister Potato dapat ku terima dengan selamat.


Dan, mulailah aku menulis. Tentang London Eye. Kapsul London Eye nomor 33. Kapsul untuk melemparkan pandangan mengelilingi London. Kota London yang mempesona. Pesona yang menarikku untuk mencoba tradisi minum teh. Tradisi minum teh yang penuh sensasi. Sensasi yang akan membuatku terbuai. Terbuai hingga aku masih punya asa untuk bangkit meraih mimpi. Mimpi berkunjung ke Inggris. Berkunjung sebagai traveler dan pelajar.


Bila Mister masih bernapas, bolehlah makan potato gratis.
Bila harap memang tak berbatas, bolehlah aku terbang ke Inggris.





Tidak ada komentar: