Search something?

Minggu, 08 Februari 2015

Bersama Manik Uni, Kelana Sepeda

Halo, Mbak Manik Uni! Selamat pagi.

Gigi sudah sehat dua puluh empat karat, yaa? Sudahkah berencana menyantap bebek goreng lagi bareng Clareta? Bebek goreng di dekat rumahku itu. Tempat kita bertiga makan malam bersama sebelum aku kembali lagi merantau di sebuah tanah asing. Tanah Formosa sebutannya. Tenang saja, aku tidak terasing, ataupun diasingkan.

Sekarang aku sedang di Formosa, engkau di Jawa. Aku mendiami Keelung, engkau di Blitar. Aku belajar, engkau bekerja. Aku yang menggagas surat, dan engkaulah yang mendapat. Jangan lupa, nanti ada seorang perempuan muda yang akan membaca & mengirimkan ini. Namanya Iit Sibarani :)


Ce Manik,
hingga hari ini, aku tak bisa memprediksi telah berapa zaman kita berkawan. Pun tak mampu menelaah telah berapa jauh sepeda yang kita kayuh. Engkau terlebih dahulu mengenal nenek kakekku, ibu bapaku, bibi pamanku, atau juga saudara-saudari sepupuku. Walau tak sedarah, engkau tak bisa terpisah. Engkau mengerti sepatah-patah saat aku masih antah berantah. Ketika kakiku mulai melangkah di luar rumah, engkau hijrah.

Ku kira, selama beberapa jangka engkau melanglang buana. Jakarta, sang ibukota negara, telah kau uji coba. Flores, kampung halaman ayahmu, telah kau gores. Apalagi Malang, kota inilah yang membuatmu matang dan berdaya juang. Bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat telah kau cecap. Kala kau sudah kenyang, aku baru muncul dengan jiwa petualang yang berkobar dan berkembang. Seolah ingin menantang tiap sepak terjangmu. Tanpa ku paham bahwa aku hanyalah anak bawang.



Ada satu perahu yang membuat kita sama-sama berlayar. Perahu itu bernama misdinar. Dan ada satu pelabuhan untuk kita berteduh, yaitu gereja tua. Perjalanan kita berawal pada suatu malam. Kita menjenguk seorang manusia-pilihan-Allah, Stefanus Kholik yang tengah tergolek sakit. Ternyata, beliau menyiapkan satu agenda penting bagi kita. Dengan tiba-tiba, kita diserahi kemudi perahu misdinar. Perahu yang sudah terlampau lama bersandar.

Terlalu mendesak, tak ada kesempatan mengelak. Kita pun segera beranjak. Begitu kan, Mbak? :)


Terciptalah jutaan ekspedisi kita bersama perahu misdinar. Waktu angin sepoi-sepoi, kita bisa bersantai. Meski itu jarang sekali. Waktu badai nan ngeri menerjang, kita tak pernah patah arang untuk menyeberang. Tak perlu kita bimbang. Waktu tak ada angin sama sekali, kita sekilas berhenti untuk kembali menekuni strategi. Lalu, segala kekuatan akan bersemi.

Namun Ce,
kita bukan sekadar tentang misdinar. Bukan saja soal berlatih gerak liturgi dengan anak-anak tiap Sabtu dan Minggu. Yang kerap membuat kita terperangah karena polosnya ulah mereka. Bukan cuma tentang hari-hari raya, Natal, dan Paskah. Yang selalu riuh rendah karena penuhnya kaidah. Bukan semata-mata berkutat pada retret, rekoleksi, dan piknik rohani. Yang pasti gegap gempita meski tetap ugahari. Bukan, kita bukan itu belaka.



Kita adalah perihal kelana nan sederhana. Tentu kita ingat lagu ini,

'Kita bagai kelana, menyusur cakrawala, menuju langit suwarga.
Dihantar nyanyi enau dan hawa segar pula yang indah di bibir samudera.
Kehidupan yang penuh hasrat dan semangat.'

Sepeda tua senantiasa menemani kita. Pada pagi libur Idul Fitri, kita menari-nari di atas sadel sepeda sepanjang puluhan kilometer untuk mencapai Candi Penataran yang kenamaan itu. Betapa letihnya kita pagi itu. Pada siang terik kita menumpang sepeda ke Pasar Legi yang letaknya nun jauh di barat, lantas ke utara menuju toko pakaian khas Blitar. Betapa gemilangnya kita siang itu. Di sore nan lembut kita mengayuh pedal dan mengawal seorang manusia-pilihan-Allah, Ignatius Prasetijo, berputar-putar kota Blitar. Betapa cerianya kita sore itu. Pada malam nan tenteram kita berkeliling mencari tempat hening untuk berbagi rezeki dan hati. Betapa damainya kita malam itu.

Tak jarang pula kita membawa sepeda ke gereja tua untuk berbincang kala petang menjelang. Atau, kadang aku mengarahkan sepeda ke rumahmu hanya untuk bertemu. Tak pernah kita malu walau hanya sepeda yang kita punya. Itulah kekayaan yang kita banggakan. Sederhana, yaa?



Ada banyak kisah kita. Tak kan habis kita urai. Imanlah acuan yang membuat kita menjadi paduan. Surat ini aku cukupkan sampai di sini. Mari kita bernyanyi satu bait lagi.

'Angin iman membawa balada syair indah untuk meluhurkan Tuhan.
Di dinding bukit-bukit nama-Nya diserukan oleh alam dan manusia.
Dengan hati yang tulus iklas dan gembira.'


Salam dan doa dari jauh,
-Kartika Paramita Klara-


Tidak ada komentar: